SRC:www.antaranews.com
Presiden Prancis dan calon presiden pemilu 2012 Prancis dari partai UMP Nicolas Sarkozy, mengakhiri pidatonya dalam sebuah kampanye di Paris, Minggu (15/4). (REUTERS/Gonzalo Fuentes)
Paris (ANTARA News) - Selagi warga Perancis bersiap memilih pemimpin pembawa aspirasi mereka, kaum pendatang melihat Prancis kini sudah tak lagi teguh memegang asas kesetaraan dan persaudaraan.
Bekas negeri penjajah dan pusat kebudayan dunia itu menarik banyak orang asing untuk hidup di sana. Namun kini, banyak warga pribumi gelisah karena harus hidup berdampingan dengan pendatang.
Para pendatang menuduh warga Perancis asli kerap bersikap rasis dan sombong, tapi itu tak sepenuhnya benar.
"Negara ini adalah negeri ideal bagi banyak orang", ujar Jamal Sow (35), mahasiswa dari Mauritania yang sedang menyelesaikan disertasinya di Sorbonne.
"Perancis adalah tempat kekayaan intelektual dan kestabilan politik membuat demokrasi berjalan baik," ujarnya. "Tapi saat ada di sini, Anda akan menyadari betapa susahnya mencari pekerjaan atau tempat tinggal", jelas Jamal, yang pernah memulung dari tempat sampah untuk bisa hidup.
Pria ini merasakan kehidupan menjadi lebih berat lagi dibanding sembilan tahun silam saat pertama kali dia tiba di Prancis. 4 juta orang menganggur di Prancis dan semua orang merasa bakal kehilangan pekerjaan sewaktu-waktu.
Foad Saberan, psikiater kelahiran Iran yang dibesarkan di Tunisia dan sekarang bekerja di Paris, melihat ketakutan akan hilangnya status atau diabaikan.
"Ada beberapa kelompok yang menggalang solidaritas nasional, melawan penganguran yang dijamin uang negara, yang mengakibatkulu an timbulnya budaya malas. Ini menekan kaum lemah dan terpinggirkan, terutama para pendatang", ujar lelaki 70 tahun itu.
Dulu kambing hitam nasional dilemparkan ke arah kaum komunis dan serikat kerja, namun kini sermua diarahkan ke kaum pendatang terutama orang Afrika Utara.
Bagi banyak orang, kampanye anti pendatang dalam pemilihan presiden sekarang, mencerminkan kebencian yang kadang tidak tampak dari kehidupan sehari-hari.
"Prancis adalah negara di mana Anda bisa bicara tanpa peduli," ujar Ahmed (35thn), tukang kebun asal Maroko yang mempunya tiga orang anak kelahiran Paris.
"Hidup itu keras, harus diperjuangkan, tapi di sini anak-anak dapat membuat keputusan sendiri mengenai masa depannya," ujarnya.
Tapi bagi Salome Anaba, pendatang asal Kamerun yang menjadi guru sekolah dasar di Prancis, impian kesetaraan itu sulit diwujudkan. "Kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan hanya slogan kosong belaka", katanya.
"Slogan tersebut mungkin cocok untuk orang kaya, namun tidak untuk mayoritas orang miskin. Dengan kemampuan yang sama, seorang berkulit hitam dari pinggiran kota punya kesempatan yang lebih kecil untuk bekerja dibandingkan orang Paris kulit putih," kata Ahmed.
Tudor Vaideanu, seorang dokter gigi kelahiran Rumania punya pendapat beda. Ia masih melihat Prancis tanah peluang untuk menggantungkan harapan-harapannya.
Sementara isi hati dan harapan warga pendatang Prancis itu bersuara. putaran pertama pemilihan presiden Prancis baru akan berlangsung hari Minggu nanti (22/4).
Jajak pendapat menunjukkan bahwa kandidat kaum sosialis, Francois Hollande sedang berada di jalur menggulingkan inkumben sayap kanan Nicolas Sarkozy. (*)
No comments:
Post a Comment