SRC:www.antaranews.com
Jakarta (ANTARA News) - Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organization (ILO) memberikan apresiasi kepada pemerintah Indonesia atas upaya mengurangi angka pekerja anak-anak melalui berbagai program terutama pendidikan.
"Kami mengapresiasi upaya Indonesia dalam mengurangi pekerja anak, karena dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling dinamis dalam upaya mengurangi pekerja anak, dan pendidikan telah menjadi kunci untuk menurunkan angka pekerja anak di Indonesia" kata Direktur ILO untuk Indonesia Peter van Rooij di gedung Bappenas di Jakarta, Rabu.
Ditambahkannya, berdasarkan data ILO, di seluruh dunia, saat ini ada 215 juta anak yang bekerja. Setengah di antaranya, menjalani bentuk-bentuk pekerjaan terburuk, di tengah situasi konflik, dan perbudakan. Sedangkan 5 juta di antaranya menjalani kerja paksa dan eksploitasi, termasuk sebagai pekerja seks.
"Pekerja anak sangat rentan terhadap isu kesehatan, keselamatan, dan masa depan. Mereka terpaksa menggadaikan masa depan sia-sia akibat tekanan kemiskinan," katanya.
Namun demikian, lanjutnya, Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan terkait pekerja anak, antara lain tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi, infrastruktur pendidikan di daerah yang belum memadai, serta kapasitas dan komitmen daerah yang masih rendah.
Sebelumnya, dalam laporan Understanding Children`s Work (UCW) yang digagas ILO bersama Bank Dunia, Unicef, dan Bappenas, terungkap bahwa sektor pertanian adalah sektor yang paling banyak merekrut pekerja anak di Indonesia, yakni mencapai 58,0 persen dari total pekerja anak.
Selain itu, sektor jasa dan sektor manufaktur mengekor di posisi selanjutnya. Dengan sepertiga dari anak-anak yang bekerja di sektor jasa atau 216.000 anak menjadi pekerja rumah tangga.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana mengatakan jumlah pekerja anak hingga saat ini masih cukup tinggi sehingga dibutuhkan peran serta berbagai pihak untuk mengatasi masalah ini.
Armida menjelaskan, berdasarkan definisi Badan Pusat Statistik (BPS), angkatan kerja adalah penduduk yang berumur 15 tahun ke atas. Jadi, pekerja anak adalah anak yang berusia di bawah 15 tahun dan melakukan pekerjaan.
"Jika pekerjaannya ringan, tentu dapat dipahami, misalnya sekadar membantu orangtua, dan yang terpenting tidak mengganggu sekolahnya. Banyak anak di bawah usia 15 tahun melakukan pekerjaan yang dilarang secara tegas dalam Konvensi Internasional dan UU RI, kemiskinan menjadi faktor paling berpengaruh terhadap maraknya pekerja anak," ujarnya.
Ditambahkannya, masalah pekerja anak juga tengah dihadapi banyak negara maju dan berkembang. Dalam hal ini, pemerintah telah meratifikasi 2 konvensi ILO No. 138 dan 182 tentang batasan usia kerja dan penghapusan segala bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, yang dilanjutkan dengan Undang-undang No. 20 Tahun 1999 dan UU. No. 1 tahun 2000.
"Ini menunjukkan bahwa pemerintah sungguh-sungguh berkomitmen untuk meniadakan pekerja anak dalam kegiatan ekonomi," jelasnya.
Saat ini, pemerintah sedang mengupayakan perluasan pemberian beasiswa untuk keluarga miskin, serta program-program pengentasan kemiskinan. Bagi anak yang terpaksa bekerja, dilakukan program penarikan pekerja anak agar mereka kembali bersekolah.
Apabila tidak mampu melanjutkan ke sekolah formal, diberikan akses untuk meningkatkan keterampilan agar saat memasuki usia kerja, memiliki keterampilan yang memadai.
"Suatu program tidak akan efektif jika hanya mengandalkan pemerintah. Oleh karena itu, keterlibatan stakeholders, orang tua pekerja anak, masyarakat, pemerintah daerah, LSM, dan lembaga internasional di dalamnya sangatlah diperlukan," pungkasnya.
(ANTARA)
No comments:
Post a Comment