SRC:www.antaranews.com
Jakarta (ANTARA News) - Dunia usaha harus mencermati munculnya kepentingan bisnis di tengah kebijakan negara pengimpor yang meminta adanya sertifikasi pengelolaan hutan lestari terhadap produk kayu dari negara berkembang, kata pengurus APHI.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Rahardjo Benyamin pada acara FSC Business Encounter di Jakarta, Selasa, mengatakan, skala prioritas perlu ditekankan menyusul penetrasi kepentingan bisnis asing di balik penerapan skema perdagangan kayu legal.
Dia mengatakan, sekitar 100 unit manajemen pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) alam sudah mengantongi izin operasi untuk areal konsesi seluas 23 juta hektare, namun jumlah perusahaan yang memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari masih sangat minim.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan sekitar 233 dari 1.881 unit industri pengolahan kayu dan 12 unit pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) telah memperoleh sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dari sejumlah lembaga verifikasi legalitas kayu (LVLK) yang resmi ditunjuk pemerintah.
Minimnya jumlah perusahaan pengelola hutan alam yang bersertifikat membuat sektor ini sangat potensial digarap sebagai lumbung bisnis.
"Persoalannya, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dengan luas konsesi 60.000 hektare perlu menyiapkan dana hingga Rp2,5 miliar untuk memperoleh sertifikat pengelolaan hutan secara lestari dari FSC. Ini mahal," katanya.
Sementara anggota Dewan Eksekutif TBI Jesse Kuijper menegaskan pihaknya menghormati skema SVLK yang merupakan skema mandatory di Indonesia.
Menurut dia, banyak negara produsen kayu di dunia juga mengembangkan skema mandatory yang serupa dengan SVLK. Meski demikian, dia mengklaim masih banyak pembeli yang lebih memilih produk kayu bersertifikat FSC.
"Ini bukan soal kompetisi karena yang terpenting ekspor produk kayu ke Uni Eropa terjamin," katanya.
Hingga kini, kawasan hutan produksi di Indonesia yang bersertifikasi FSC mencapai 1,1 juta hektare. TBI tahun ini berencana memfasilitasi 26 perusahaan dengan total areal konsesi 2,6 juta hektare agar mereka bisa memperoleh sertifikat FSC.
Menurut Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Hutan Regional I Kementerian Kehutanan Agus Sarsito skema SVLK yang merupakan skema mandatory di Indonesia mempunyai kualitas yang tidak kalah ketimbang skema voluntary yang diminta negara pengimpor.
"Pada beberapa hal seperti keterlibatan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dalam proses sertifikasi, SVLK bahkan lebih baik," tegasnya.
(A027/Z002)Â
No comments:
Post a Comment